Cara Lain Menerjemahkan Marah

Posted by Yoga Ailala on Wednesday, November 10, 2010

PSIKOLOGI - ARTIKEL

Cara Lain Menerjemahkan Marah

Senin, 1 November 2010 | 11:22 WIB
shutterstock
Banyak biro yang memberikan pelatihan tentang menjadi orangtua efektif. Namun, ternyata tidak mudah untuk menerapkannya dalam praktik keseharian. Misalnya tentang pemahaman bahwa pesan Diri Saya (”I message”) lebih efektif daripada pesan Kamu ( ”YOU message” ) dalam interaksi kita, baik dengan pasangan atau dengan orang di sekitar kita yang bermakna bagi diri kita.

Saya sendiri berusaha mempraktikkan apa yang sering saya sampaikan kepada klien saya. Saat itu, saya sedang berdiri di ruang makan menyiapkan makan malam. Salah satu cucu saya (usia 4 tahun) memegang pisau buah yang tajam dan berusaha mengupas mangga. Saya terkejut dan sangat khawatir kalau-kalau pisau yang ditempelkan ke buah mangga meleset dan melukai jarinya. Kekagetan saya membuat saya berteriak sehingga terjalin percakapan:

Saya: ”Elmo, tolong taruh pisau itu di meja, nanti jarimu kepotong!”

Elmo: ”Enggak, Eyang, Elmo enggak kepotong.”

Saya mulai marah dan bicara lebih keras,” Pasti kamu kepotong, nanti ..!!”

Elmo juga menjadi lebih marah lagi daripada saya: ”Enggak,” sambil mempertahankan pisau dengan lebih mendekatkan pisau ke tubuhnya.

Waduh, sikapnya dalam mempertahankan pisau itu menambah kekhawatiran saya.

Saya menjawab dengan nada suara yang tambah keras: ”Pasti kamu kepotong. Taruh pisau itu di meja makan!”

”Enggak, Eyang!!!” (dengan nada keras dan marah).

Pesan diri saya
Saat itu pula, karena terkesan dengan adanya pertarungan antara saya dan cucu tentang pisau buah itu, saya kemudian ingat akan buku yang pernah saya baca tentang ”Pesan Diri Saya”. Bahwa setiap ”Pesan Kamu” selalu mengandung unsur menyalahkan orang yang kita ajak bicara. Contohnya: kamu akan memotong jarimu sendiri. Pesan tersebut harus diganti dengan Pesan Diri Saya, yang tidak mengandung upaya menyalahkan orang yang kita ajak bicara.

Kemudian saya mulai membuka percakapan lagi dengan Elmo. ”Elmo, Eyang bilang lagi, ya (dengan lebih lembut dan terkesan tidak marah ).

”Eyang lihat kamu pegang pisau buah yang tajam, Eyang takut kamu kepotong jarinya, Eyang cemas kalau nanti kamu memotong jarimu sendiri.” Saat itu, Elmo tampak tidak semarah sebelumnya, tetapi memandang saya langsung ke arah mata dan berkata dengan tenang:

”Ah, itu Eyang aja yang pencemas.”

”Ya, sih, memang eyang pencemas, jadi sekarang eyang mau membuat diri eyang tidak cemas lagi dengan mengambil pisau buah itu dari tanganmu.” Kemudian, langsung saya dapat mengambil pisau itu dari tangannya.

Apa yang kemudian membuat saya tercengang, ternyata Elmo dengan mudah dan tanpa pertahanan keras menyerahkan pisau buah itu kepada saya, dia lakukan tanpa merasa kehilangan harga dirinya. Mengapa? Karena saya ambil pisau tersebut dari tangannya dalam rangka mengatasi kecemasan saya. Berarti, yang bermasalah adalah saya.

Jadi, saya memiliki masalah kecemasan yang harus saya atasi sendiri. Sayalah yang bertanggung jawab terhadap masalah saya. Dan, ternyata, kemudian saya baru tahu dari kakaknya bahwa Elmo memang sudah biasa mengupas mangga di rumahnya. Percakapan tersebut terjadi di Bandung saat Elmo dan kakaknya liburan sekolah, mereka biasa tinggal bersama kedua orangtuanya di Jakarta.

Kecemasan

Dari contoh konkret di atas, dapat disimpulkan bahwa kecemasan sayalah yang membuat saya mengambil pisau dari tangan Elmo. Saya sekaligus mencoba melatih otoritas nenek kepada cucunya. Yang terpenting dalam contoh ini adalah bahwa sesaat kemudian saya mampu mengalihkan Pesan Kamu (melalui prediksi bahwa Elmo akan memotong jarinya sendiri, seolah saya cenayang yang canggih) ke arah Pesan Diri Saya, yang mengungkap bahwa kecemasan yang saya rasakan saat melihat Elmo memegang pisau buah adalah persoalan saya sendiri dan saya harus bertanggung jawab atas solusi persoalan saya tersebut, bukan menuduh Elmo tidak cakap menggunakan pisau tersebut.

Tentu saja tidak setiap waktu seseorang sanggup mengungkap Pesan Diri Saya dengan sikap tenang. Saat suami saya memecahkan vas bunga, suvenir pertama kali saya memberikan ceramah tentang psikologi keluarga, sekitar tahun 1972 (jadi suvenir tersebut punya makna khusus bagi sejarah profesi saya), karena secara tidak sengaja suami saya menggeser buku di meja tengah rumah, maka saya berkata.

”Ya, Pah, Papah pasti tahu kalau saya akan marah dan kesal melihat akibat ketidakhati-hatian Papah, ya, pecah, deh vas bunga. Itu kenangan pertama kali diundang memberikan ceramah, di depan ibu-ibu PKK, sebagai psikolog. Vas bunga itu penting artinya buat mamah. Lain kali Papah hati-hati, ya, kalau mau menggeser sesuatu yang ada di meja.”

Pernyataan tersebut saya ungkapkan sebagai pengganti teriakan penyesalan atas ketidakhati-hatiannya. Apa yang kemudian dilakukan suami saya? Dia minta maaf, dan selang beberapa saat kemudian kami berbaikan kembali.

Tak perlu bakat

Tidak diperlukan bakat khusus untuk bisa menyatakan Pesan Diri Saya pada setiap situasi sosial bila tujuan utama kita adalah memberi tahu bahwa kita sedang marah. Kita dapat melakukan Pesan Diri Saya, sesuai dengan gaya personal kita sendiri. Dan, gaya sendiri akan membuat kita lebih merasa aman dan nyaman.

Moral yang tersirat adalah, tujuan utama kita adalah mengubah pola perilaku kita dalam relasi yang penting dan/atau mengembangkan kepekaan yang lebih kuat tentang diri kita sendiri sehingga kepekaan itu dapat kita bawa dalam setiap relasi dengan lingkungan tempat kita berada. Dalam hal ini kita belajar untuk menerjemahkan kemarahan kita ke dalam kondisi yang lebih jelas, tidak menggunakan pernyataan yang cenderung menyalahkan diri atau menyalahkan orang yang berelasi dengan kita.

Bisakah kita segera mulai berlatih dan belajar berkomunikasi dengan gaya personal saat mengungkap Pesan Diri Saya? Maka, diri yang lebih gamblang dan tangguh akan terbangun dengan sendirinya.***

Sawitri Supardi Sadarjoen, psikolog

{ 0 comments... read them below or add one }

Post a Comment