Perpisahan dan Kebersamaan

Posted by Yoga Ailala on Saturday, November 27, 2010

Membentuk relasi yang bertahan lama merupakan kegiatan yang sulit karena menuntut kapasitas untuk menjaga keseimbangan antara penghayatan perasaan personal sebagai ”aku” dan penghayatan perasaan kebersamaan pasangan sebagai ”kami”. Tarikan kedua arah ”keakuan-kekamian” tentu saja sangat kuat.

Pada satu sisi kita ingin menjadi individu yang terpisah, berdiri sendiri, artinya menjadi seseorang yang mampu memperoleh kepuasan atas upaya diri sendiri, tetapi di sisi lain kita mencari keterikatan dan keintiman dengan orang lain, seperti halnya perasaan memiliki dan dimiliki dalam ikatan perkawinan, keluarga, atau kelompok. Hal yang perlu kita cermati adalah apabila pasangan perkawinan berada dalam rentang ketidakseimbangan perpisahan dan kebersamaan, maka pasangan tersebut menghadapi masalah yang cukup serius sehingga perlu kita kaji bersama sebagai berikut:

Timbul pertanyaan, apa yang terjadi apabila kebersamaan dalam penghayatan kekamian tidak mencukupi kebersamaan relasi pasangan? Hasilnya tentu saja dapat dikatakan sebagai perkawinan yang mengalami perceraian emosional. Pasangan terisolasi walaupun tetap berada dalam kancah perkawinan, tetapi masing-masing merasa sendiri dan mereka tidak berbagi dalam pengalaman dan perasaan personal.
Apabila kekamian menjadi sangat langka, maka akan berkembang sikap: ”saya tidak butuh kamu” yang akan diekspresikan baik oleh salah satu maupun keduanya, di mana posisi kedua pasangan berada dalam posisi benar-benar otonom walaupun tinggal dalam satu atap. Mungkin saja terjadi pertengkaran kecil dalam situasi ini. Namun, seandainya mereka berbaikan, hanya sedikit kedekatan yang bisa terjalin di antara mereka.

Bagaimana halnya apabila keakuan tidak cukup dalam interelasi yang terbina antar-keduanya? Dalam situasi ini, keduanya mengorbankan identitas diri yang mengakibatkan rasa tanggung jawab terhadap diri sirna. Keduanya kehilangan kontrol diri dan banyak energi tersedot untuk berkorban demi pasangannya. Mereka berupaya sekuat tenaga untuk mencoba mengubah perilaku pasangannya. Kedua pasangan akan merasa lebih bertanggung jawab terhadap perolehan kenyamanan pasangannya daripada kenyamanan dirinya sendiri.

Untuk itu, apabila dinamisitas rasa tanggung jawab personal terhadap pemenuhan kenyamanan pasangan menjadi hal yang utama, setiap pasangan akan bereaksi dengan sangat emosional terhadap apa yang dikatakan dan dilakukan pasangannya. Jadi, peluang sering terjadinya pertengkaran justru menjadi sangat besar karena mereka akan dengan cepat mencari kesalahan pasangannya. Andai terjadi sesuatu yang tidak sesuai dengan harapannya, akan terungkap kalimat: ” Ah, rasanya saya sudah upayakan segala macam cara dalam bersikap, tetapi dia tidak pernah menghargai usaha saya dan tidak pernah mau mengubah sikapnya.”

Hal lain yang merupakan hasil dari kebersamaan yang eksesif adalah kekamian yang seolah terkesan harmonis (”pseudo harmonious”), yang ditandai oleh jarang terjadinya konflik dalam perkawinan. Misalnya, karena salah satu pasangan bersikap submisif dengan cara selalu menerima dominasi pasangannya atau keduanya berperilaku seolah telah saling berbagi berbagai masalah dalam kehidupan perkawinan mereka.

Kondisi semacam ini sebenarnya sangat mudah dipahami karena dorongan untuk menyatu dalam kebersamaan sifatnya sangat universal. Namun, kecenderungan untuk mengarah pada fusi penyatuan diri yang ekstrem menjadi sangat luar biasa. Relasi yang demikian membuat posisi kedua pasangan menjadi sangat rentan terhadap kemungkinan runtuh. Karena, apabila kedua orang secara ekstrem menjadi satu, perpisahan bisa dirasakan sebagai kematian psikis dan fisik. Artinya, keduanya serasa tidak memiliki apa pun, bahkan diri, untuk bangkit apabila relasi menyatu yang artinya sangat penting tersebut terpaksa harus berakhir, misalnya bila salah satu pasangan meninggal dunia.

"Aku” dan ”Kami”

Dari uraian di atas kita dapat simpulkan bahwa setiap pasangan perkawinan membutuhkan keduanya, ”aku” dan ”kami”, dalam porsi yang berimbang sehingga memberikan makna yang berarti bagi aspek personal tiap pasangan.

Timbul pertanyaan lanjut, bagaimanakah cara menyeimbangkan keakuan dan kekamian yang mantap dan membahagiakan kedua pasangan? Salah satu cara praktisnya adalah: seandainya kita dihadapkan pada perasaan marah dan tidak nyaman yang kronis dalam suatu relasi perkawinan, rasa marah dan tidak nyaman tersebut adalah pertanda bahwa kita harus memperjelas dan meningkatkan penguatan penghayatan ”aku”.

Kita harus melakukan evaluasi diri untuk mendapatkan apa yang sebenarnya kita pikirkan, rasakan, dan inginkan serta perubahan dalam cara berinteraksi yang mana yang sebenarnya kita butuhkan dalam kehidupan perkawinan ini? Semakin kita lebih menghayati kejelasan posisi ”aku” dalam kebersamaan dengan pasangan, semakin nyamanlah penghayatan dan kenyamanan keintiman dan kesendirian dalam ikatan perkawinan.

Keintiman hakiki yang kita raih dalam perkawinan tidak berarti bahwa antarpasangan harus selalu bersama hingga kedua pasangan kehilangan jati diri. Artinya kesendirian dan kebersamaan dalam ikatan perkawinan yang sehat tidak menyertakan penghayatan keterpisahan dalam jarak yang dimaknakan sebagai isolasi.
Untuk itu, kesediaan kita mengubah persepsi tentang konflik antarpasangan yang terjadi sangat dibutuhkan karena melalui sesekali pertengkaran bahkan sesekali saling menyalahkanlah kadang-kadang justru menjadi ajang protes dan proteksi diri bagi pertahanan keakuan dalam batasan jalinan kekamian.

Nah, sejauh mana kita sudah berupaya menyeimbangkan rentang keakuan dan kekamian demi terjaganya hakikat harmoni antara perpisahan dan kebersamaan dalam relasi dengan pasangan perkawinan kita?


Sawitri Supardi Sadarjoen, psikolog

{ 0 comments... read them below or add one }

Post a Comment