Persaingan Kerja di Dunia Materi

Posted by Yoga Ailala on Wednesday, November 10, 2010

Di dunia industri ultramodern sekarang ini, tampaknya kita harus menerima fakta bahwa manusia harus sangat keras berkompetisi dengan sesamanya di pasar kerja, dan bahwa pada akhirnya materi, atau keuntungan, menentukan segalanya.

Satu lagi surat dari D di B tentang kerja. ”Saya memiliki masalah yang mengganjal di hati. Sekitar awal Mei 2010 saya mengikuti tes tertulis penerimaan karyawan di satu perusahaan. Saya mencoba mengerjakan sebaik mungkin meskipun tentu tidak sempurna, dan saya sangat berharap dapat diterima. Namun saya tunggu-tunggu, saya tak kunjung memperoleh panggilan lanjutan.

Ketika saya hampir melupakan, perusahaan tersebut kembali menghubungi saya, dan saya diminta ikut psikotes. Saya mengikuti sesuai waktu dan jadwal yang mereka tetapkan, padahal waktu itu saya masih dinas di luar kota. Seminggu kemudian saya dipanggil interview. Mereka menanyakan alasan kenapa saya ingin keluar dari tempat saya bekerja sekarang dan terjadi sedikit perdebatan.

Pada akhirnya mereka menanyakan gaji yang saya inginkan. Saya toh tetap menyetujui walaupun tidak sesuai dengan yang saya minta, dan mereka menerangkan fasilitas apa saja yang bisa yang nanti akan saya dapatkan bila saya diterima bekerja di sana. Di akhir interview saya diberi surat untuk melakukan tes kesehatan di tempat yang mereka tentukan. Bahkan, mereka sudah meminta saya bergabung di sana, pada tanggal dan bulan sekian, tetapi mereka tetap melarang saya untuk tidak keluar dahulu dari tempat saya bekerja sekarang ini sebelum hasil tes kesehatan tersebut keluar dan yakin bahwa saya tidak memiliki masalah kesehatan yang serius. Dan saya melakukan semua yang mereka minta.

Ketika saya belum juga mendapat panggilan kembali, akhirnya saya memberanikan diri untuk menelepon. Mereka menjawab saya tidak bisa bergabung di sana! Mereka hanya menjawab bahwa saya tidak cocok dengan user tanpa penjelasan lebih rinci, saya benar-benar kaget, kecewa, bahkan tersinggung dengan jawaban mereka. Saya menelepon ke sana bukan untuk mengemis-ngemis, tetapi untuk mendapat kejelasan apakah saya jadi diterima atau tidak. Bukankah mereka yang menjanjikan terlebih dahulu.

Akhirnya saya memperoleh surat resmi dari sana yang isinya mengenai kegagalan saya bergabung. Surat tersebut langsung saya robek karena saya tidak ingin kedua orangtua saya tahu isi surat tersebut dan jadi ikut kecewa dan sedih. Sampai saat ini saya masih merasakan kecewa dan malu karena teman-teman kantor sudah tahu saya akan pindah ke sana.”

Banyak dialami
Yang dialami oleh D sebenarnya sangat sering dialami oleh banyak sekali pencari kerja: lulus sekolah, sangat berharap dapat bekerja, menulis banyak lamaran, dipanggil untuk tes, kemudian tidak ada kabar apa pun, tiba-tiba setelah setahun dipanggil lagi, diiming-imingi untuk tes lanjutan, lalu tidak ada kabar lagi, dan selanjutnya. Yang terjadi sesungguhnya memang tidak etis, dan perusahaan dapat berbuat lebih baik dengan melayangkan surat atau membuat pengumuman hasil seleksi.
Tetapi seperti telah saya sampaikan di atas, dunia bisnis tampaknya memang dikuasai oleh prinsip mencari keuntungan sebanyak-banyaknya, dengan mengeluarkan biaya yang sekecil-kecilnya. Bahkan, saya tahu ada beberapa perusahaan yang tidak mau mengeluarkan uang untuk tes psikologis dan mensyaratkan tes psikologis dibayar sendiri oleh pencari kerja.
Memang mengerikan bahwa pertimbangan kemanusiaan sudah tidak ada lagi, tetapi demikianlah faktanya, dan kita sebagai individu tidak dapat berbuat apa-apa untuk mengubahnya. Hal itu sangat perlu disadari oleh kita semua: generasi muda, para pencari kerja, maupun orangtua dan pendidik, untuk dapat mempersiapkan diri dan mempersiapkan generasi penerus sehingga dapat beradaptasi dan cukup ”sehat mental” dalam dunia yang penuh kompetisi.

Bagi generasi muda, tidak ada cara lain kecuali membekali diri dengan belajar sebaik-baiknya agar memiliki ijazah pendidikan formal yang baik, paham mengenai bidang pendidikan dan keterampilan yang lebih dibutuhkan pasar kerja, mengasah keterampilan dan potensi-potensi unik yang ada, juga meluaskan pergaulan untuk memperoleh akses informasi kerja seluas-luasnya. Akan lebih baik lagi bila kita mampu menciptakan lapangan kerja baru untuk diri sendiri dan orang-orang lain.

Bukankah tidak semua orang bisa berkompetisi secara sama, apalagi mereka yang kurang gizi karena miskin, tinggal di tempat terpencil, tidak memiliki akses informasi, tidak memperoleh pendidikan sebaik yang lain, menyandang cacat atau berkebutuhan khusus?

Tidak seimbang

Bagaimanapun, posisi pencari kerja dan pemberi kerja tidak akan pernah bisa seimbang. Jadi D tidak perlu berkecil hati, melihat pengalaman ini sebagai pembelajaran berharga untuk selanjutnya, dan sebagai bahan refleksi. Mengapa ingin keluar dari tempat kerja yang lama? Mengapa ”berdebat” saat wawancara? Mengapa perlu menceritakan secara detail kepada teman kerja seolah sudah pasti diterima sementara surat penerimaan belum ada?

Apakah D memberi kesan keras kepala, sulit berkompromi, atau kurang mampu berkomunikasi dengan baik sehingga perusahaan akhirnya membatalkan rencana mempekerjakannya, karena memang khawatir karakteristik kepribadiannya dapat membawa konflik-konflik baru di tempat kerja?

Selain melihat pada kemampuan, pemberi kerja juga sangat melihat sejauh mana pencari kerja akan cocok dengan karakteristik kerja yang ditekuninya dan karakteristik lingkungan kerjanya. Misalnya, untuk mengisi jabatan staf biasa dibutuhkan orang yang tidak terlalu dominan (sehingga dapat bekerja sama dengan baik dalam kelompok dan tidak berkonflik dengan atasan), sementara untuk jabatan pemimpin, bukan cuma kepandaian yang dituntut tetapi kemampuan memimpin, menularkan visi, dan antusiasme.

Semoga generasi muda tidak berkecil hati dengan kenyataan yang ada, dapat mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya, dan nantinya dapat duduk di posisi-posisi penting agar dapat mengubah dunia kerja menjadi dunia yang lebih manusiawi.

KRISTI POERWANDARI psikolog

{ 0 comments... read them below or add one }

Post a Comment