MASIH ingat kasus Prita Mulyasari yang menulis sebuah keluhan di sebuah milis? Pada dasarnya merupakan keluhan atas pelayanan salah satu rumah sakit di Tangerang. Keluhan itu berdasarkan fakta. Namun yang terjadi, Prita digugat secara hukum oleh rumah sakit dengan tuduhan telah melakukan pencemaran nama baik. Untunglah, dalam kasus perdatanya Prita divonis bebas.
Anehnya, beberapa hari ini Prita terkena ancaman pidana atas kasus yang sama. Kasus yang itu juga. Hal ini tentu membuat masyarakat menjadi bingung. Kalau menulis keluhan berdasakan fakta dianggap pencemaran nama baik, lantas kepada siapa masyarakat harus mengeluh? Lagipula, masyarakat juga bertanya-tanya, apa unsur-unsur dari pencemaran nama baik? Apakah mengemukakan keluhan berdasarkan fakta identik dengan pencemaran nama baik? Apakah definisi pencemaran nama baik sangat relatif sehingga semua jaksa, hakim dan para penegak hukum boleh membuat definisi seenaknya sendiri?
Saya menilai, kasus Prita merupakan kasus pembungkaman demokrasi. Di mana masyarakat, terutama konsumen, dibungkam untuk tidak boleh mengeluh. Sebab, mengeluh dianggap sebagai pencemaran baik. Kalau sudah begini, dikemanakan hakekat keadilan? Di kemanakan hati nurani para penegak hukum? Pembuat undang-undangnya yang salah ataukah para penegak hukumnya yang salah? Apakah di Indonesia ini mengeluh merupakan sebuah kejahatan perdata/pidana?
sumber : surya.co.id
{ 0 comments... read them below or add one }
Post a Comment